Di balik kabut pegunungan yang menyelimuti Tanah Papua, dentuman senjata masih kerap terdengar. Bukan sebagai bagian dari latihan militer, melainkan konflik yang belum usai.
Semester pertama tahun 2025 mencatatkan babak baru dalam perjalanan panjang Papua yang belum juga bebas dari kekerasan.
Frits B. Ramandey selaku Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua pada Minggu (15/6/2025) mengungkapkan, bahwa kondisi hak sipil dan politik di Papua belum menunjukkan perbaikan signifikan. Kekerasan, terutama yang melibatkan senjata api, masih berulang.
Dalam enam bulan terakhir, tercatat 40 kasus kekerasan terjadi di berbagai wilayah Papua. “Yang paling banyak adalah kontak senjata dan penembakan, sebanyak 27 kasus. Sisanya penganiayaan, kerusuhan, dan pengrusakan,” kata Frits.
Data Komnas HAM menunjukkan, wilayah seperti Yahukimo, Intan Jaya, dan Puncak Jaya menjadi titik-titik rawan. Namun angka statistik itu belum mampu menceritakan seluruh kisah.
Di balik angka, ada keluarga yang kehilangan ayah, ibu yang meratapi anaknya, dan warga sipil yang hidup dalam kecemasan.
Dalam periode 1 Januari hingga 12 Juni 2025, sebanyak 75 orang menjadi korban, termasuk 50 orang yang meninggal dunia, baik dari kelompok sipil, aparat, maupun pihak yang disebut TPNPB–OPM.
Yang paling memilukan, lebih dari separuh korban adalah warga sipil biasa—orang-orang yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Ironisnya, Frits sendiri hampir menjadi salah satu korban. Pada 24 April 2025 lalu, saat melakukan pemantauan di Teluk Bintuni, ia diserang tembakan dalam insiden yang diduga dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata.
Saat itu ia sedang mencari informasi tentang hilangnya seorang perwira polisi.
“Ini bukan hanya soal saya pribadi, tapi soal bagaimana keamanan dan penegakan HAM bisa berjalan di Papua,” kata Frits.
Harapan rekonsiliasi
Meski situasi terlihat suram, harapan untuk dialog dan rekonsiliasi belum padam. Komnas HAM terus mendorong terciptanya ruang-ruang dialog antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat, hingga kelompok bersenjata.
Menurut Frits, satu-satunya jalan menuju Papua yang damai adalah kepercayaan—dan itu tidak bisa dibangun hanya dengan pendekatan keamanan.
“Rakyat Papua ingin diperlakukan setara. Ingin didengar. Ingin hidup damai di tanahnya sendiri,” ujarnya.
Di tengah suara tembakan dan konflik berkepanjangan, Papua terus menunggu. Menunggu kehadiran negara yang bukan sekadar hadir dalam bentuk seragam dan senjata, tapi yang datang dengan telinga terbuka dan hati yang tulus.
Sebab di balik semua gejolak itu, ada satu harapan sederhana yang terus dipeluk oleh masyarakat Papua: damai, tanpa syarat.