Jakarta, KV – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyoroti adanya ketimpangan antara provinsi, kabupaten, dan kota dalam mengelola dan merealisasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perbedaan signifikan dalam kinerja pendapatan dan belanja dinilai berpengaruh terhadap ketimpangan pertumbuhan ekonomi antardaerah.
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menyampaikan hal tersebut saat membuka Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2025 yang dirangkaikan dengan pengarahan Menteri Keuangan terkait percepatan realisasi belanja untuk pertumbuhan ekonomi.
Acara berlangsung secara hybrid dari Gedung Sasana Bhakti Praja, Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Rapat tersebut turut dihadiri secara virtual oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, para gubernur, bupati, dan wali kota dari seluruh Indonesia.
Menurut Tito, belanja pemerintah merupakan salah satu mesin utama penggerak ekonomi, di samping sektor swasta. Namun, belum semua daerah mampu mengoptimalkan fungsi ini.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bisa melompat kalau dua mesin bergerak, yaitu mesin swasta dan mesin pemerintahan. Mesin pemerintahan di antaranya adalah realisasi belanja yang harus dioptimalkan,” ujarnya.

Kemendagri mencatat, hingga 30 September 2025, realisasi pendapatan daerah secara nasional mencapai 70,27 persen, sementara realisasi belanja baru 56,07 persen. Di balik capaian nasional itu, terdapat kesenjangan yang mencolok antardaerah.
“Beberapa provinsi memiliki kinerja belanja yang relatif baik, tetapi masih banyak kabupaten dan kota yang tertinggal jauh. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kapasitas manajemen keuangan yang sama,” kata Tito.
Sebagai contoh, Kabupaten Sumbawa Barat mencatat realisasi pendapatan hingga 109,56 persen, dan Kabupaten Tanah Laut mencapai 96,61 persen. Namun, di sisi lain, masih ada daerah dengan realisasi pendapatan di bawah 50 persen dan belanja yang jauh tertinggal.
Tito menegaskan, ketimpangan tersebut perlu menjadi perhatian serius karena berdampak langsung terhadap daya dorong ekonomi daerah.

“Kalau pendapatannya tinggi tapi belanjanya rendah, maka uangnya hanya mengendap di kas daerah dan tidak memberi efek berganda bagi masyarakat,” tegasnya.
Ia menjelaskan, sejumlah faktor masih menghambat penyerapan anggaran, seperti keterlambatan lelang, sistem e-Katalog yang belum optimal, dan pergantian pejabat dinas yang menyebabkan tertundanya kegiatan. Selain itu, beberapa daerah juga menahan pembayaran hingga akhir tahun dengan alasan administrasi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan pemerintah daerah agar tidak menjadikan kas daerah sebagai tempat “menyimpan” dana yang seharusnya berputar di masyarakat. “Uang itu harus kerja, bantu ekonomi daerah,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya percepatan belanja produktif serta peningkatan tata kelola agar tidak hanya menjaga integritas fiskal, tetapi juga mendorong kepercayaan publik dan investor. “Sekali hilang kepercayaan, membangunnya butuh waktu lama,” tambahnya. (Puspen Kemendagri)














