Para orang tua, terutama para ibu, umumnya dengan sadar menanamkan dalam diri putra-putrinya sejak dini suatu keutamaan, yaitu memiliki rasa dan sikap berterima kasih, baik kepada sesama maupun, lebih-lebih lagi, kepada Tuhan.
Ketika anak mereka menerima suatu pemberian, apa pun bentuknya, mereka diajarkan untuk berterima kasih kepada pemberinya. Ketika sembuh dari sakit, misalnya, mereka perlu berterima kasih kepada dokter atau perawat yang telah memperhatikan dan mengobatinya.
Terlebih lagi, mereka harus bersyukur kepada Tuhan atas anugerah kesembuhan bagi dirinya. Para orang tua berharap agar keutamaan itu dapat bertumbuh dan berkembang dalam hidup putra-putrinya.
Dalam kenyataan hidup sekarang ini, kita sering mengalami bahwa keutamaan atau kebajikan itu dengan mudah diabaikan orang.
Banyak yang hanya mengingat kebaikan orang lain—yang seharusnya diucapkan terima kasih—atau kebaikan dan kemurahan Tuhan—yang seharusnya disyukuri—hanya pada saat mereka berada dalam kondisi sangat membutuhkan, susah, atau terpuruk. Namun, setelah terbebas dari keadaan itu, mereka lupa dan tidak mengingat apa pun lagi.

Dalam Injil Lukas 17:11–19, Yesus sendiri mengalami hal itu. Ia menyembuhkan sepuluh orang sakit kusta hanya dengan sepatah kata. Mereka semua disembuhkan dalam perjalanan, tetapi dari sepuluh orang itu hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur—dan orang itu adalah seorang Samaria. Sementara sembilan orang lainnya, yang adalah orang Yahudi, tidak peduli dan tidak memberi tanda terima kasih.
Padahal, penyakit kusta pada masa itu sangat sulit disembuhkan oleh dokter mana pun. Seharusnya hal itu membuat mereka tidak pernah lupa akan jasa Yesus yang telah menyembuhkan mereka, dan mendorong mereka untuk datang bersyukur kepada-Nya. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Orang Yahudi menganggap disembuhkan oleh seorang nabi yang juga orang Yahudi sebagai hal yang “biasa” (bdk. 2 Raj. 5:14–19). Mereka tidak merasa ada alasan istimewa untuk kembali mengucap syukur. Keutamaan untuk bersyukur kepada Tuhan bukan hanya diabaikan oleh orang Yahudi, tetapi juga sering kali diabaikan oleh kita.
Saat kita membutuhkan bantuan, kita ingat. Sekurang-kurangnya, kita dapat membayangkan jasa orang yang memberi. Namun, setelah memperolehnya, kita mudah lupa dan tidak peduli—lupa kepada sesama, bahkan lupa kepada Tuhan.
Akibatnya, kita menjadi kurang peka dalam menghargai karunia-karunia dari Tuhan, sampai akhirnya melupakan keistimewaan karunia itu sendiri. Kita pun tidak siap untuk mengusahakan perkembangan atau memperoleh tambahan karunia yang lebih lanjut karena kurang menyadari maknanya bagi hidup kita.
Marilah, bapak/ibu, saudara-saudari sekalian, kita raih dan genggam kembali keutamaan yang pasti pernah ditanam oleh ayah dan bunda dalam hati serta kesadaran kita: memiliki rasa dan sikap berterima kasih kepada sesama, dan senantiasa bersyukur kepada Tuhan.
Amin. Tuhan memberkati selalu.
(Pastor Charles Loyak Deket, OSC)














