Di tengah kesibukannya sebagai jurnalis di Tanah Papua, Stefanus Tarsi Amat tak pernah melupakan tanah kelahirannya di Manggarai Timur, NTT. Jarak ribuan kilometer yang membentang tak mampu memutus rasa kepedulian dengan kampung halaman. Bagi Stefanus, iman dan solidaritas adalah dua hal yang tak pernah mengenal batas wilayah.
Beberapa waktu lalu, nama Stefanus kembali disebut dengan penuh rasa syukur di Stasi Kawak, sebuah stasi Gereja Katolik di bawah Paroki Santo Agustinus Weleng, Manggarai Timur.
Melalui perwakilannya, Yuvensius Sando, ia menyerahkan bantuan dana sebesar Rp 6 juta untuk mendukung pembangunan Gedung Gereja Katolik Stasi Kawak.
Meski jumlahnya tak besar, maknanya begitu dalam bagi umat setempat yang sedang berjuang membangun rumah ibadah mereka dengan tenaga dan swadaya sendiri.
Ketua Dewan Gereja Katolik Stasi Kawak, Bapak Leo, menyampaikan rasa terima kasih yang tulus atas perhatian tersebut. Ia menyebut, kehadiran keluarga besar Stefanus menjadi tanda nyata bahwa semangat gotong royong umat Katolik tak pernah pudar, meski jarak memisahkan.

Bagi mereka, pemberian itu bukan sekadar sumbangan, tetapi tanda cinta kasih persaudaraan dalam iman. “Bantuan ini bukan sekadar uang, tapi bentuk kasih dan perhatian yang luar biasa,” ujarnya.
Pembangunan gereja di Stasi Kawak memang menjadi cita-cita panjang umat setempat. Di desa kecil yang terletak di Golomunga Barat, Kecamatan Lambaleda Utara, umat Katolik telah bertahun-tahun beribadah di bangunan sederhana beratap seng.
Semangat mereka untuk memiliki rumah Tuhan yang lebih layak tak pernah padam. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari putra daerah seperti Stefanus, menjadi bahan bakar semangat itu.
Stefanus sendiri bukan orang baru dalam dunia pelayanan sosial. Sebagai jurnalis yang sudah lama berkarya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Ia sering meliput kisah perjuangan masyarakat di pelosok Papua Pegunungan.

Dari situ, ia belajar bahwa kepedulian tak hanya ditulis dalam berita, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan nyata. “Kita tidak harus menjadi kaya untuk berbagi. Cukup punya hati yang peka terhadap sesama,” katanya suatu kali dalam perbincangan singkat lewat sambungan telepon.
Bagi Stefanus, gereja bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga simbol kebersamaan dan harapan umat. Ia mengaku tergerak untuk membantu karena melihat semangat warga Kawak yang membangun dengan gotong royong tanpa menunggu bantuan besar dari luar.
“Saya tahu, mereka bekerja keras dengan iman. Kalau saya bisa mengambil bagian, sekecil apa pun, itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri,” ujarnya.
Bantuan dari Stefanus diserahkan secara simbolis oleh Yuvensius Sando dalam suasana sederhana namun hangat. Umat menyambutnya dengan doa dan ucapan syukur.
Pernyataan Stefanus yang dibacakan Yuvensius pun menggugah banyak hati. Ia menegaskan bahwa bantuan tersebut bukan dilihat dari nilainya, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan spiritual terhadap kampung halaman.

“Gereja ini adalah rumah iman kita bersama. Saya hanya ingin menjadi bagian kecil dari karya besar ini,” tulis Stefanus dalam pesannya.
Kini pembangunan gereja Stasi Kawak masih berlanjut. Setiap batu yang ditumpuk, setiap kayu yang dipaku, membawa doa dan harapan dari banyak orang, termasuk dari seorang jurnalis yang jauh di seberang lautan. Stefanus percaya, Tuhan bekerja lewat tangan-tangan kecil yang tulus. Ia hanya ingin menjadi salah satunya.
Dan pada akhirnya, kepedulian seperti inilah yang menjembatani iman dan kemanusiaan. Di tanah Desa Golomunga Barat, kasih itu sedang bertumbuh di antara tembok gereja yang terus meninggi.
Di tanah Papua, seorang jurnalis tersenyum lega, tahu bahwa sedikit dari rezekinya telah menjadi bagian dari rumah Tuhan di kampungnya tercinta.














