Raja Ampat, KV – Suara penolakan terhadap keberadaan Greenpeace kembali menggema dari Kampung Selpele, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Masyarakat adat Suku Kawei menegaskan sikap menolak organisasi lingkungan internasional tersebut yang dinilai mengganggu kedaulatan adat mereka.
Sejumlah spanduk dengan tulisan penolakan kini terpasang di Pulau Wayag hingga titik-titik strategis lain di Raja Ampat.
Bagi masyarakat Kawei, Greenpeace dianggap bukan penyelamat lingkungan, melainkan pihak yang menghambat akses mereka menuju kesejahteraan melalui aktivitas pertambangan nikel yang dikelola PT Kawei Sejahtera Mining (KSM).
“Mereka datang diam-diam tanpa menghormati kami sebagai pemilik hak ulayat yang sah,” ujar Yustus Ayei, tokoh adat Kawei, dalam orasi yang disambut sorakan dukungan warga.
Penolakan ini bukan kali pertama, namun kali ini berlangsung lebih keras dengan keterlibatan empat marga adat: Daat, Ayelo, Arempele, dan Ayei.
Tokoh perempuan adat, Dina Ayelo, menyebut tuduhan Greenpeace mengenai kerusakan konservasi hanyalah propaganda, sementara tokoh pemuda adat, Luther Ayelo, menegaskan sikap tegas masyarakat dengan menutup akses wisata Pulau Wayag pasca-operasional tambang dihentikan pemerintah pusat.
Sikap masyarakat adat ini diperkuat data resmi PT KSM yang menegaskan legalitas tambang di Pulau Kawei, di antaranya melalui pengesahan RTRW, izin dari lima kementerian terkait, hingga program lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Perusahaan mengklaim 83 persen tenaga kerjanya adalah Orang Asli Papua (OAP), serta menjalankan program beasiswa, bantuan kesehatan, renovasi fasilitas umum, hingga pengembangan pertanian dan perikanan.
“Anak-anak kami bisa kuliah karena beasiswa dari perusahaan. Kami juga mendapat bantuan kesehatan tanpa beban biaya,” kata salah satu warga penerima manfaat.
Gelombang penolakan Greenpeace muncul setelah pemerintah pusat mencabut izin PT KSM. Masyarakat menilai keputusan tersebut mengancam masa depan ratusan keluarga Kawei dan mendesak agar izin segera dikembalikan.
Gubernur Papua Barat Daya, Elisa, menyatakan akan menempuh jalur persuasif. “Masyarakat masih dalam kondisi marah. Karena itu, kami akan masuk dengan pendekatan yang lebih baik,” ujarnya.