Jayawijaya, KV— Tim Penggerak Sekolah Adat Jayawijaya, Papua Pegunungan, menyatakan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan program Sekolah Rakyat yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebagai solusi dalam menghadapi krisis pendidikan dan kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Ketua Tim Penggerak Sekolah Adat Jayawijaya, Manu Hisage bersama Sekretaris Ambrosius Haluk menyampaikan hal tersebut saat melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Pegunungan di Wamena, Sabtu (21/6/2025).
“Program Sekolah Adat yang kami inisiasi sangat sejalan dengan visi Presiden Prabowo melalui Sekolah Rakyat. Kami siap menjadi bagian dari upaya bersama memperluas akses pendidikan, khususnya bagi masyarakat adat di pedalaman,” ujar Manu Hisage.
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya saat ini tengah memproses legalitas enam sekolah adat yang berada di Distrik Itlayhisage, Walelagama, dan Siepkosi. Sejak Januari hingga April 2025, inisiatif lokal telah melahirkan sekolah adat di Kampung Yogonima dan Sumunikama (Distrik Itlayhisage), Kampung Walelagama (Distrik Walelagama), serta Kampung Sekan dan Sekan Dalam (Distrik Siepkosi).
Seiring dukungan yang meningkat, sekolah adat tersebut telah mengantongi Surat Keputusan Izin Operasional** dari Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya per Rabu, 18 Juni 2025. Tahap selanjutnya adalah pengurusan legalitas ke notaris dan pendaftaran di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) guna memperoleh Nomor Pokok Sekolah Nasional.
Sekolah adat ini menitikberatkan pada pendidikan nonformal yang berpadu dengan sistem formal, dengan tujuan menjangkau anak-anak putus sekolah, pemuda pengangguran, dan korban perkawinan usia dini, agar mereka memiliki kesempatan memperoleh ijazah dan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Fokus utama pengembangan diarahkan pada pembentukan Taman Kanak-Kanak/Pendidikan Anak Usia Dini (TK/PAUD) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat , sebagai sarana pemberantasan buta aksara dan penguatan pendidikan dasar melalui program Paket A, B, dan C.
Tim penggerak berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah untuk mendirikan Balai Latihan Khusus di wilayah adat. Balai ini diharapkan menjadi pusat pelatihan bagi guru, fasilitator, dan peserta didik, sesuai dengan arah kebijakan pendidikan vokasi yang diusung pemerintah pusat.
“Kami ingin pemerintah daerah dan provinsi terlibat aktif, baik melalui Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, maupun DPRD dan MRP Papua Pegunungan. Kami juga mengajak Lembaga Masyarakat Adat (LMA), tokoh gereja, dan lembaga agama untuk mendukung pelestarian bahasa, budaya, dan nilai-nilai lokal melalui sekolah adat,” jelas Ambrosius Haluk.
Tim penggerak juga mengusulkan adanya forum kolaboratif antara seluruh program pendidikan alternatif seperti sekolah adat, sekolah rakyat, sekolah budaya, sekolah lokal, sekolah alam, dan pemerintahan kampung adat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan mampu mempercepat pembangunan pendidikan secara holistik di wilayah pegunungan Papua.
“Kami percaya bahwa kolaborasi adalah kunci. Sekolah adat yang kami gerakkan ini bukan hanya tentang pendidikan, tetapi juga tentang penguatan identitas dan kemandirian masyarakat adat,” tutup Manu Hisage.