Banyak orang menyangka bahwa mamon sama dengan uang, padahal keduanya tidak sepenuhnya dapat disamakan. Memang ada hubungan erat, tetapi mamon memiliki makna yang lebih luas.
Dalam bahasa Aram, mamona berarti kekayaan atau keuntungan. Namun, dalam Injil (bdk. Luk 16:1–13), Kristus menyingkapkan bahwa mamon tidak sekadar soal harta, melainkan sikap tamak yang menuntut seluruh hati manusia, hingga membuatnya jauh dari Allah.
Ketika seseorang memiliki sesuatu, pada kenyataannya sesuatu itu juga dapat memiliki dirinya. “Mamon yang tidak jujur” (ay. 9) menunjuk pada keuntungan yang diperoleh dengan cara curang, atau dicari dengan motif egois demi kepentingan diri maupun kelompok.
Nabi Amos pun mengingatkan keras terhadap mereka yang menipu bahkan memperdagangkan orang miskin demi uang (bdk. Amos 8:4–7).
Dengan demikian, mamon dapat berupa ambisi, nafsu mengejar kekayaan, dan sikap tidak jujur terhadap uang. Uang sendiri sebenarnya netral, bahkan bisa dipakai untuk tujuan baik. Tetapi bila manusia diperbudak oleh mamon, akibatnya fatal: ia bisa jatuh pada kerugian moral dan spiritual.
Sebab itu Yesus menekankan perlunya mengelola uang secara bijaksana, bukan untuk menaruh kepercayaan buta pada harta benda, melainkan untuk menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan. Mamon bukan hanya soal materi, tetapi roh yang menjerat manusia dalam ketamakan dan keserakahan.
Yesus menantang kita untuk berpikir lebih jauh: bila manusia mampu menghitung uang demi keamanan hidup di dunia, mengapa tidak menghitung juga demi jaminan bagi jiwa di kehidupan kekal?
Dengan uang, orang bisa memberi derma, menolong sesama, serta “menebus” mamon yang tidak jujur. Kekayaan memang mudah membawa manusia pada penyelewengan, tetapi orang yang memilih Allah sebagai pusat hidupnya tidak akan diperbudak olehnya. Bahkan, ia rela mengorbankan atau meninggalkan uang demi Kerajaan Allah.
Kita semua tentu membutuhkan uang. Itu tak terelakkan! Dalam hidup, kita ibarat “anak-anak dagang” yang harus bekerja, berhemat, teliti, dan cerdas melihat peluang, agar usaha berkembang dan tetap terjaga.
Prinsip ini juga berlaku dalam pengelolaan keuangan Gereja dan karya kerasulan. Namun, Yesus mengharapkan agar usaha dan ketekunan itu juga diterapkan dalam kehidupan rohani: berjuang demi kesejahteraan jiwa, bangkit bila jatuh, serta terus melangkah menuju surga.
Singkatnya, uang memang penting untuk menjaga hidup di dunia, tetapi sikap terhadap mamon menentukan apakah kita layak masuk kehidupan abadi.
Dengan jujur, kita harus mengakui masih jauh dari ideal itu. Banyak orang masih terikat, serakah, dan menaruh kepercayaan lebih pada uang dan harta daripada pada Allah.
Kita memberi derma atau kolekte, tetapi sering hanya menyisihkan receh. Lebih parah lagi, keuangan dalam lingkup Gereja—bahkan dalam koperasi kredit atau CU—tak jarang disalahgunakan oleh pengurusnya.
Penyimpangan semacam ini sungguh memprihatinkan, sekaligus menjadi panggilan untuk terus-menerus membenahi diri.
Kiranya sabda Tuhan hari ini menyadarkan kita, agar tidak diperbudak oleh mamon, melainkan setia menaruh iman dan harapan hanya pada Allah.
Tuhan memberkati kita. Amin.
(Pastor Charles Loyak Deket OSC)